Ecobiz.asia – Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2025, tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, Dan/Atau Pengolahan Sumber Daya Alam. Kebijakan ini tidak hanya menjadi langkah strategis dalam mengelola Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari sektor sumber daya alam (SDA), tetapi juga sebagai upaya memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Dengan aturan ini, diharapkan dana dari ekspor sumber daya alam tidak mengalir keluar negeri, melainkan berputar di dalam negeri untuk mendukung pembangunan serta memperkuat nilai tukar rupiah.
Presiden Prabowo Subianto mengumumkan secara resmi penerapan PP 8/2025 dalam keterangan persnya di Istana Merdeka, 17 Februari 2025. Presiden menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia bagi kemakmuran rakyat dengan memastikan bahwa dana dari hasil ekspor tidak lagi tersimpan di luar negeri.

Menurut Presiden, dengan penerapan PP 8/2025 devisa hasil ekspor Indonesia diperkirakan akan meningkat sebesar 80 miliar dolar AS pada tahun 2025, dan lebih dari 100 miliar dolar AS jika diterapkan penuh selama 12 bulan. Namun, kewajiban menahan DHE selama 12 bulan dapat mempengaruhi fleksibilitas keuangan eksportir, terutama yang memiliki kewajiban finansial di luar negeri.
Oleh karena itu, PP 8/2025 dilengkapi dengan berbagai insentif fiskal dan instrumen keuangan yang memungkinkan eksportir tetap memiliki akses terhadap dana mereka dalam mekanisme yang lebih terkendali dan produktif bagi perekonomian nasional termasuk untuk:
1. Penukaran ke rupiah di bank yang sama untuk kegiatan operasional;
2. Pembayaran pajak dan penerimaan negara bukan pajak dalam valuta asing;
3. Pembayaran dividen dalam valuta asing bagi pemegang saham internasional;
4. Pengadaan barang dan jasa impor dalam bentuk bahan baku dan barang modal;
5. Pembayaran kembali pinjaman luar negeri untuk pengadaan barang modal.
Baca juga: IMA Minta Aturan Devisa Hasil Ekspor Pertimbangkan Kemampuan Untuk Keberlanjutan Usaha
Bagaimana Industri Kayu dan Kelapa Sawit dalam Konteks Regulasi Global?
PP 8/2025 memiliki dampak luas bagi sektor ekspor kayu dan kelapa sawit, dua komoditas unggulan Indonesia yang berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Namun, implementasi kebijakan ini tidak dapat dilepaskan dari dinamika regulasi global, terutama European Union Deforestation Regulation (EUDR), yang akan berdampak langsung pada akses pasar ekspor. Kebijakan domestik yang mewajibkan penempatan 100% DHE sumber daya alam dalam sistem keuangan nasional selama 12 bulan, serta regulasi EUDR yang menuntut pembuktian bahwa produk tidak berasal dari lahan deforestasi pasca-2020, menimbulkan tantangan dan peluang bagi sektor ini.
1. Peningkatan Likuiditas Domestik dan Tantangan Arus Modal Internasional
Dengan diwajibkannya penempatan 100% DHE SDA ke dalam sistem keuangan nasional selama 12 bulan, terdapat potensi peningkatan likuiditas domestik yang dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan sektor riil. Hal ini penting bagi industri kayu dan sawit yang membutuhkan modal kerja besar untuk proses produksi, logistik, dan ekspansi industri hilir.
Namun, dalam konteks global, kewajiban ini dapat membatasi fleksibilitas arus modal bagi eksportir yang memiliki kewajiban pembayaran dalam valuta asing. Beberapa eksportir besar memiliki kontrak internasional yang mengharuskan pembayaran cepat kepada pemasok, pemroses, atau distributor luar negeri. Regulasi ini dapat menghambat kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan kebutuhan likuiditas yang dinamis di pasar global.
2. Insentif Pajak vs. Regulasi EUDR dan Sertifikasi Keberlanjutan
PP 8/2025 menawarkan insentif pajak berupa PPh final 0% bagi eksportir yang menempatkan DHE SDA dalam deposito valas dengan tenor lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global, terutama bagi industri yang telah melakukan hilirisasi.
Namun, di sisi lain, Uni Eropa melalui EUDR mengharuskan perusahaan membuktikan bahwa produk kayu dan kelapa sawit yang diekspor tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi setelah 2020. Untuk mematuhi regulasi ini, eksportir perlu memastikan sistem keterlacakan yang ketat dalam rantai pasok mereka. Jika kebijakan DHE membatasi fleksibilitas dalam membangun kemitraan internasional yang memenuhi standar keberlanjutan EUDR, maka eksportir Indonesia bisa kehilangan akses ke pasar Eropa.
3. Regulasi Perdagangan Global dan Risiko Retaliasi Dagang
Selain EUDR, negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Inggris juga mulai menerapkan kebijakan ketat terkait green supply chain dan keberlanjutan lingkungan. Dengan kebijakan DHE yang mewajibkan retensi devisa, eksportir Indonesia dapat menghadapi tantangan dalam menyesuaikan diri dengan regulasi global yang menuntut transparansi dalam transaksi keuangan terkait perdagangan komoditas.
Dalam skenario tertentu, kebijakan DHE bisa dianggap sebagai bentuk kontrol modal yang melanggar prinsip perdagangan bebas di bawah aturan World Trade Organization (WTO). Jika negara mitra dagang melihat kebijakan ini sebagai hambatan dalam transaksi internasional, Indonesia dapat menghadapi risiko retaliasi dagang atau hambatan non-tarif yang lebih ketat.
4. Potensi Peningkatan Investasi vs Ketidakpastian Regulasi
Kebijakan ini berpotensi mendorong investasi lebih lanjut di sektor kayu dan sawit, terutama dalam industri hilir. Dengan stabilitas nilai tukar yang lebih terjaga serta peningkatan akses pembiayaan domestik, perusahaan dapat melihat peluang untuk memperluas kapasitas produksi mereka.
Namun, bagi investor asing, regulasi DHE bisa menjadi penghalang karena membatasi fleksibilitas arus modal mereka. Investor yang ingin beroperasi di Indonesia mungkin akan mempertimbangkan aspek keterbukaan finansial dan kemampuan mereka untuk mengalokasikan keuntungan secara bebas. Jika kebijakan ini dianggap terlalu membatasi, investasi di sektor hilir justru dapat mengalami perlambatan.
Baca juga: Dukung Kebijakan Biodiesel, Pemerintah Perketat Ekspor POME dan Minyak Jelantah
Implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2025 menghadirkan sejumlah poin krusial dan tantangan yang perlu diperhatikan, khususnya dalam sektor ekspor komoditas kayu dan kelapa sawit.
1. Kepatuhan Eksportir
Pemerintah mewajibkan eksportir untuk menempatkan 100% DHE SDA ke dalam sistem keuangan Indonesia selama minimal 12 bulan. Namun, tidak semua eksportir memiliki pemahaman yang mendalam tentang regulasi ini. Oleh karena itu, sosialisasi yang komprehensif dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk memastikan kepatuhan. Sekretariat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pada 26 Februari 2025, telah dilakukan sosialisasi mengenai PP No. 8 Tahun 2025 melalui platform Zoom Meeting.
2. Stabilitas Valuta Asing dan Perbankan
Kewajiban penempatan DHE dalam negeri selama 12 bulan dapat mempengaruhi likuiditas valuta asing di pasar domestik. Bank-bank nasional perlu menyediakan instrumen penempatan yang kompetitif untuk menarik minat eksportir. Misalnya, penawaran suku bunga yang menarik pada deposito valas atau produk investasi lainnya. Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan nasional dan kebutuhan operasional eksportir.
3. Dampak terhadap Investasi dan Arus Modal
Kebijakan ini berpotensi mempengaruhi persepsi investor asing terhadap iklim investasi di Indonesia. Jika dianggap terlalu restriktif, investor mungkin akan lebih berhati-hati dalam menanamkan modalnya. Selain itu, perusahaan yang sangat bergantung pada modal kerja dari ekspor, seperti industri pengolahan kayu dan kelapa sawit, mungkin menghadapi kesulitan dalam mengakses likuiditas dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan operasional atau ekspansi.
4. Mekanisme Pengawasan dan Sanksi
Pemerintah telah menetapkan sanksi bagi eksportir yang tidak mematuhi kebijakan ini, termasuk penangguhan layanan ekspor. Namun, penerapan sanksi ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari dampak negatif pada rantai pasok global, terutama bagi eksportir besar di sektor kayu dan kelapa sawit. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme pengawasan yang transparan dan adil, serta komunikasi yang efektif antara pemerintah dan pelaku usaha.
Tantangan Khusus pada Sektor Kayu dan Kelapa Sawit
1. Tantangan Khusus pada Sektor Kayu
– Peningkatan Ekspor dan Fluktuasi Harga
Industri pengolahan kayu Indonesia telah menunjukkan peningkatan ekspor dalam beberapa tahun terakhir. Namun, nilai ekspor Indonesia pada Januari 2025 mencapai US$21,45 miliar, mengalami penurunan sebesar 8,56% dibandingkan Desember 2024 . Fluktuasi harga global dan persaingan dengan negara lain tetap menjadi perhatian utama bagi industri ini.
– Dampak PP 8/2025 terhadap Hilirisasi dan Daya Saing
Implementasi PP 8/2025 diharapkan dapat mendorong hilirisasi industri kayu dengan mewajibkan penempatan 100% DHE SDA ke dalam sistem keuangan nasional selama 12 bulan. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk kayu dan memperkuat daya saing di pasar internasional melalui pemanfaatan DHE untuk pembangunan infrastruktur dan investasi sektor riil.
2. Tantangan Khusus pada Sektor Kelapa Sawit
– Regulasi Internasional dan Akses Pasar
Sebagai penyumbang signifikan terhadap ekspor nonmigas Indonesia, industri kelapa sawit menghadapi tantangan dari regulasi internasional seperti EUDR. Regulasi ini mengharuskan importir memastikan bahwa produk yang masuk ke Uni Eropa tidak terkait dengan deforestasi, yang dapat mempengaruhi akses pasar sawit Indonesia.
– Fluktuasi Harga dan Permintaan Global
Fluktuasi harga dan permintaan global, terutama dari negara-negara seperti India dan Tiongkok, turut mempengaruhi stabilitas industri kelapa sawit. India menjadi negara tujuan ekspor terbesar dengan kontribusi sebesar 17,66% dari total nilai ekspor kelapa sawit Indonesia, diikuti oleh Tiongkok sebesar 16,60%. Perubahan kebijakan atau permintaan dari negara-negara ini dapat berdampak langsung pada industri sawit nasional.
Kebijakan ini juga mendorong hilirisasi industri kelapa sawit, mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah, dan meningkatkan nilai tambah produk. Dengan demikian, daya saing produk kelapa sawit Indonesia di pasar global dapat ditingkatkan melalui diversifikasi produk olahan dan pemanfaatan DHE untuk investasi domestik.
Secara keseluruhan, meskipun tantangan dari regulasi internasional dan fluktuasi pasar global tetap ada, implementasi PP 8/2025 menawarkan peluang bagi sektor kayu dan kelapa sawit untuk memperkuat struktur industri, meningkatkan nilai tambah, dan memperluas akses pasar melalui pengelolaan devisa yang lebih optimal dan strategi hilirisasi yang tepat.
Dengan pendekatan proaktif dan kolaboratif, industri kayu dan kelapa sawit Indonesia dapat mengatasi tantangan yang muncul dari implementasi PP 8/2025 dan EUDR, serta memanfaatkan peluang untuk meningkatkan daya saing di pasar global.
Sinergi dengan regulasi keberlanjutan internasional, diplomasi perdagangan, serta fasilitasi kepatuhan terhadap standar global seperti EUDR akan menjadi kunci keberhasilan implementasi PP 8/2025 tanpa merugikan daya saing ekspor Indonesia.
Kesimpulan
PP 8/2025 membawa dampak yang signifikan bagi industri kayu dan sawit di Indonesia. Di satu sisi, kebijakan ini dapat meningkatkan likuiditas domestik, mendorong hilirisasi, dan memberikan insentif pajak bagi eksportir yang patuh. Di sisi lain, eksportir yang memiliki kebutuhan likuiditas tinggi untuk transaksi global dapat mengalami kendala dalam menjalankan bisnis mereka.
Pemerintah perlu menyeimbangkan antara kebijakan kontrol devisa dengan kebutuhan fleksibilitas bisnis bagi eksportir. Selain itu, sinergi antara kebijakan DHE dan penguatan infrastruktur industri hilir harus menjadi perhatian utama agar Indonesia tidak hanya menjadi negara pengekspor bahan mentah, tetapi juga mampu bersaing dalam produk bernilai tambah tinggi di pasar global.
Meskipun kebijakan ini berpotensi meningkatkan likuiditas domestik dan mendukung hilirisasi, tantangan dalam kepatuhan terhadap regulasi internasional seperti EUDR dan green supply chain regulation dapat menjadi penghalang ekspor.
Pemerintah perlu menyeimbangkan antara kontrol devisa dan fleksibilitas bisnis bagi eksportir agar Indonesia tetap kompetitif di pasar global. Sinergi dengan regulasi keberlanjutan internasional, diplomasi perdagangan, serta fasilitasi kepatuhan terhadap standar global seperti EUDR akan menjadi kunci keberhasilan implementasi PP 8/2025 tanpa merugikan daya saing ekspor Indonesia. ***
Oleh: Diah Y. Suradiredja (Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan – Institut Pertanian Bogor)