Ecobiz.asia – Dalam beberapa tahun terakhir, Uni Eropa semakin memperkuat kebijakan lingkungan dan keberlanjutan melalui European Green Deal. Salah satu langkah utamanya adalah penerapan Regulation on Deforestation-free Products (EUDR), yang bertujuan menghapus komoditas hasil deforestasi dari pasar Eropa.
Namun, kebijakan ini tidak berdiri sendiri. Seiring dengan meningkatnya kompleksitas regulasi keberlanjutan, Uni Eropa memperkenalkan EU Omnibus. Regulasi ini hadir sebagai upaya untuk menyederhanakan berbagai aturan dalam Green Deal, termasuk pelaporan keberlanjutan dan mekanisme pengurangan emisi. Dengan berbagai perubahan ini, Uni Eropa berusaha menyeimbangkan ambisi lingkungan dengan stabilitas ekonomi, sekaligus menciptakan standar baru dalam perdagangan global.
Dari EUTR ke EUDR: Perubahan Regulasi Uni Eropa dalam Memerangi Deforestasi

Uni Eropa terus memperketat regulasi lingkungan dengan mengganti EU Timber Regulation (EUTR) dengan EUDR. Berlaku sejak 29 Juni 2023, EUDR membawa pendekatan yang lebih tegas dalam memastikan bahwa produk yang masuk ke pasar Uni Eropa tidak berasal dari lahan yang baru mengalami deforestasi atau berkontribusi terhadap degradasi hutan.
Salah satu alasan utama dibalik kebijakan ini adalah dampak besar ekspansi lahan pertanian terhadap hilangnya tutupan hutan global. Komoditas seperti daging sapi, kayu, kakao, kedelai, minyak sawit, kopi, dan karet menjadi pemicu utama deforestasi. Uni Eropa, sebagai konsumen utama produk-produk tersebut, merasa memiliki tanggung jawab untuk mengurangi dampak negatifnya terhadap lingkungan.
Baca juga: Menjelang Implementasi EUDR: Dilema Global antara Keberlanjutan dan Perdagangan
Berbeda dengan EUTR yang hanya berfokus pada legalitas perdagangan kayu, EUDR memperluas cakupan regulasi dengan memasukkan berbagai komoditas yang berkontribusi terhadap deforestasi. Regulasi baru ini juga mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan bukti konkret mengenai asal-usul produk mereka, memastikan transparansi rantai pasok, dan menutup berbagai celah hukum yang sebelumnya memungkinkan terjadinya penyimpangan.
Namun, transisi dari EUTR ke EUDR tidak terjadi secara instan. Uni Eropa memberikan masa adaptasi tambahan selama 12 bulan, sehingga regulasi ini baru akan benar-benar diterapkan pada 30 Desember 2025 untuk perusahaan besar dan menengah, sementara usaha mikro dan kecil memiliki waktu hingga 30 Juni 2026. Selain itu, meskipun EUDR menggantikan EUTR, aturan lama ini masih akan tetap berlaku untuk produk kayu yang diproduksi sebelum 29 Juni 2023 hingga 31 Desember 2027.
Kendati membawa perubahan signifikan, EUDR juga menghadapi tantangan besar. Perbedaan definisi hutan di berbagai negara, celah regulasi terkait deforestasi sebelum tahun 2020, serta potensi pergeseran perdagangan ke pasar yang kurang diatur menjadi beberapa kendala dalam implementasinya. Selain itu, aturan baru ini meningkatkan beban administratif bagi perusahaan dan pemerintah dalam memastikan kepatuhan terhadap regulasi.
EUDR diharapkan mampu mengurangi dampak negatif Uni Eropa terhadap deforestasi global dengan cakupan yang lebih luas dan pengawasan yang lebih ketat. Namun, efektivitasnya masih perlu diuji dalam implementasi, terutama dalam memastikan bahwa kebijakan ini tidak sekadar membebani ekonomi tanpa memberikan manfaat nyata bagi perlindungan hutan
EU Omnibus: Transformasi Regulasi Keberlanjutan dalam Green Deal
Setelah memperkenalkan EUDR sebagai bagian dari upaya menekan deforestasi global, Uni Eropa kini menghadapi tantangan baru dalam mencapai ambisi European Green Deal. Target besar netralitas iklim pada 2050 dan transisi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan mendorong Uni Eropa untuk menerapkan berbagai regulasi lingkungan dan bisnis yang lebih ketat. Namun, kompleksitas aturan yang berkembang justru memunculkan kekhawatiran, terutama dari dunia usaha dan negara anggota.
Sebagai bagian dari Green Deal, Uni Eropa sebelumnya telah memperkenalkan tiga regulasi utama yang berfokus pada keberlanjutan korporasi, yaitu:
1. Corporate Sustainability Reporting Directive (CSRD) – Mengharuskan perusahaan untuk melaporkan kinerja mereka dalam aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
2. EU Taxonomy Regulation – Menyediakan sistem klasifikasi untuk menentukan aktivitas ekonomi yang dapat dianggap ramah lingkungan.
3. Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD) – Mengatur tanggung jawab perusahaan dalam memastikan keberlanjutan di seluruh rantai pasokan global mereka.
Meskipun regulasi ini bertujuan untuk menciptakan standar yang jelas dan seimbang bagi tindakan keberlanjutan, pelaksanaannya justru menimbulkan tantangan besar bagi banyak perusahaan. Biaya kepatuhan yang tinggi serta waktu dan sumber daya yang dibutuhkan untuk memenuhi aturan ini menjadi sorotan utama.
Pada September 2024, mantan Perdana Menteri Italia Mario Draghi merilis laporan berjudul The Future of European Competitiveness – A Competitiveness Strategy for Europe, yang menyoroti kendala regulasi sebagai salah satu penyebab stagnasi ekonomi di Uni Eropa. Laporan ini memicu desakan dari Jerman dan Prancis untuk meninjau kembali regulasi yang sedang dan telah diberlakukan. Pada Januari 2025, Menteri Keuangan Jerman Joerg Kukies mengusulkan penundaan dua tahun untuk implementasi CSRD, serta penghapusan beberapa persyaratan pelaporan sektoral. Beberapa hari kemudian, Prancis menyerukan adanya “jeda regulasi besar-besaran” untuk meninjau ulang kebijakan yang mungkin sudah tidak sesuai dengan kondisi ekonomi global saat ini.
Uni Eropa memperkenalkan EU Omnibus pada Februari 2025. Proposal ini bertujuan untuk menyederhanakan regulasi keberlanjutan tanpa mengorbankan akuntabilitas perusahaan.
Baca juga: Komisi Uni Eropa Usulkan Penundaan EUDR: Banyak yang Belum Siap
Sebagai respons terhadap tekanan tersebut, Uni Eropa memperkenalkan EU Omnibus pada Februari 2025. Proposal ini bertujuan untuk menyederhanakan regulasi keberlanjutan tanpa mengorbankan akuntabilitas perusahaan. Gagasan ini pertama kali diungkapkan oleh Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pada November 2024, yang menyatakan bahwa Uni Eropa sedang mempertimbangkan konsolidasi CSRD, CSDDD, dan EU Taxonomy menjadi satu regulasi omnibus untuk mengurangi beban administratif bagi perusahaan.
Beberapa perubahan utama dalam EU Omnibus meliputi:
1. Peningkatan ambang batas kepatuhan CSRD – Kini hanya berlaku bagi perusahaan dengan lebih dari 1.000 karyawan dan omzet lebih dari €450 juta, sehingga mengurangi jumlah perusahaan yang terdampak aturan ini.
2. Revisi pada CSDDD – Interval asesmen uji tuntas (due diligence) diperpanjang dari setiap tahun menjadi setiap lima tahun, sementara batasan denda minimal sebesar 5% dari omzet perusahaan dihapus.
Dengan langkah-langkah ini, Uni Eropa berupaya menyeimbangkan antara keberlanjutan dan stabilitas ekonomi, mengurangi birokrasi tanpa menghilangkan tanggung jawab perusahaan terhadap dampak sosial dan lingkungan. Namun, efektivitas strategi ini masih akan diuji dalam implementasinya, terutama dalam menjaga keseimbangan antara ambisi lingkungan dan kebutuhan pasar.
Pembaruan dalam CSDDD: Fleksibilitas dan Waktu Penyesuaian
Sebagai langkah untuk menyederhanakan regulasi keberlanjutan yang berlaku bagi perusahaan di Uni Eropa, kebijakan EU Omnibus membawa sejumlah perubahan signifikan, terutama pada CSDDD dan beberapa regulasi terkait lainnya. Perubahan ini bertujuan untuk memberikan lebih banyak fleksibilitas bagi perusahaan dalam memenuhi kewajiban keberlanjutan mereka, sekaligus mengurangi hambatan administratif yang selama ini dianggap membebani dunia usaha.
Baca juga: Perhutani Raih Sertifikat FSC Pengelolaan Hutan, Intip Peluang Bisnis Karbon
Salah satu perubahan utama dalam EU Omnibus adalah perpanjangan waktu implementasi regulasi keberlanjutan. Pemerintah dan perusahaan kini diberikan lebih banyak waktu untuk menyesuaikan diri dengan aturan baru:
1. Batas waktu transposisi CSDDD diperpanjang satu tahun hingga 26 Juli 2027, sementara fase pertama penerapan uji tuntas keberlanjutan untuk perusahaan besar baru akan berlaku pada 26 Juli 2028.
2. Sebagai langkah persiapan, Komisi Eropa akan menerbitkan pedoman resmi lebih awal pada Juli 2026, sehingga perusahaan dapat merancang strategi keberlanjutan mereka berdasarkan praktik terbaik yang ada tanpa harus terlalu bergantung pada layanan konsultasi hukum.
Selain memperpanjang tenggat waktu, EU Omnibus juga mengurangi kewajiban perusahaan dalam menilai dampak negatif di rantai pasokannya. Sebelumnya, perusahaan diwajibkan untuk melakukan penilaian menyeluruh terhadap dampak lingkungan dan sosial di seluruh rantai pasokan, termasuk mitra bisnis tidak langsung. Namun, dengan kebijakan baru, Perusahaan hanya diwajibkan melakukan uji tuntas menyeluruh di rantai pasokan tidak langsung jika terdapat indikasi kuat bahwa risiko dampak negatif benar-benar ada. Lebih lanjut, interval evaluasi berkala juga diperpanjang dari yang tadinya setiap tahun menjadi lima tahun, kecuali jika ditemukan indikasi bahwa langkah-langkah keberlanjutan yang diterapkan sudah tidak lagi efektif.
Omnibus juga menyederhanakan aspek lain dari regulasi uji tuntas berkelanjutan dengan:
1. Menghapus kewajiban untuk mengakhiri hubungan bisnis sebagai langkah terakhir jika mitra bisnis gagal mematuhi standar keberlanjutan.
2. Mengurangi jumlah informasi yang dapat diminta dari usaha kecil dan menengah (SME) dalam rantai pasokan, kecuali jika informasi tersebut memang diperlukan untuk pemetaan dampak keberlanjutan.
Dampak Omnibus terhadap EU Taxonomy, CSRD, dan CBAM
Selain perubahan dalam CSDDD, EU Omnibus juga memperkenalkan perubahan pada CSRD dan EU Taxonomy Regulation.
– Laporan keberlanjutan berdasarkan Taxonomy Regulation kini menjadi opsional bagi perusahaan besar dengan lebih dari 1.000 karyawan dan pendapatan tahunan hingga €450 juta. Hal ini bertujuan untuk mengurangi jumlah perusahaan yang wajib melaporkan kesesuaian mereka dengan regulasi keberlanjutan Uni Eropa.
– Perusahaan yang belum sepenuhnya memenuhi kriteria EU Taxonomy tetapi telah menunjukkan kemajuan menuju keberlanjutan dapat secara sukarela melaporkan keselarasan parsial mereka. Dengan begitu, perusahaan tetap dapat memperoleh pengakuan atas upaya mereka tanpa harus langsung mematuhi semua standar yang ada.
– Uni Eropa juga mewajibkan Komisi Eropa untuk mengembangkan regulasi tambahan yang memastikan standarisasi format dan isi laporan keberlanjutan, sehingga perusahaan tidak menghadapi ketidakpastian dalam penyusunan laporan mereka.
Perubahan dalam Omnibus juga menyentuh aturan terkait Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yakni pajak karbon yang diterapkan pada impor dari negara non-UE untuk menghindari kebocoran karbon (carbon leakage).
– Proses kepatuhan CBAM disederhanakan, khususnya bagi importir kecil dan individu yang membawa barang dalam jumlah terbatas ke Uni Eropa.
– Importir yang membawa kurang dari 50 ton barang CBAM per tahun (setara dengan sekitar 80 ton CO2 per importir) kini dikecualikan dari kewajiban CBAM.
– Bagi importir yang tetap berada dalam cakupan CBAM, persyaratan pelaporan, perhitungan emisi, serta proses otorisasi duta deklarasi akan disederhanakan, untuk memastikan kepatuhan yang lebih mudah dan tidak terlalu membebani bisnis.
Baca juga: Fitur Geolokasi Tegas di SVLK Plus, Ketelusuran Produk Kayu Indonesia Makin Kuat
Melalui berbagai perubahan dalam EU Omnibus, Uni Eropa berupaya mencari keseimbangan antara ambisi lingkungan dan realitas bisnis. Dengan memberikan lebih banyak waktu dan fleksibilitas bagi perusahaan untuk beradaptasi, serta mengurangi beban administrasi yang tidak perlu, regulasi ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi. Namun, tantangan utama ke depan adalah memastikan bahwa penyederhanaan ini tetap mampu menjaga standar keberlanjutan yang diharapkan tanpa menciptakan celah baru dalam implementasi regulasi.
Fleksibilitas vs. Konsistensi: Implikasi Regulasi bagi Perusahaan
Meskipun EU Omnibus bertujuan untuk menyederhanakan regulasi keberlanjutan dan mengurangi beban administratif bagi perusahaan, implementasinya tetap menghadirkan tantangan. Beberapa kebijakan utama, seperti CBAM dan EU Taxonomy, mengalami revisi signifikan untuk menyeimbangkan fleksibilitas kepatuhan dengan kebutuhan transparansi dan akuntabilitas lingkungan.
Perubahan signifikan pada CBAM dalam Omnibus termasuk pengecualian bagi importir kecil untuk meringankan beban kepatuhan. Dalam hal ini, importir dengan volume barang di bawah 50 ton per tahun kini dibebaskan dari kewajiban CBAM, sementara tenggat waktu pemenuhan sertifikat karbon diundur hingga Februari 2027. Selain itu, pelaporan tahunan CBAM kini diperpanjang hingga 31 Agustus, dengan mekanisme anti-penghindaran yang diperkuat untuk mencegah manipulasi data emisi.
Sedangkan pada EU Taxonomy, kompleksitas pelaporan juga dikurangi secara signifikan, dengan jumlah data yang harus dilaporkan dipangkas hingga 70%. Langkah ini bertujuan untuk menyederhanakan kepatuhan tanpa mengorbankan esensi transparansi keberlanjutan. Sementara itu, program InvestEU diperluas dengan tambahan dana €2,5 miliar, yang diproyeksikan mampu menggerakkan €50 miliar investasi berkelanjutan, terutama melalui kemitraan publik-swasta.
Namun, di sisi lain, kebijakan ini tetap menempatkan jejak rantai pasokan dan keterlacakan sebagai pilar utama. Perusahaan masih diwajibkan untuk menunjukkan kepatuhan terhadap standar lingkungan, sosial, dan perdagangan, meskipun cakupan regulasi bagi perusahaan besar telah dikurangi. Padahal, perusahaan besar menguasai 66% dari total omset manufaktur dan 55% dari omset impor, sehingga masih menjadi titik kritis dalam kepatuhan regulasi.
Dinamika Implementasi dan Potensi Ketidakpastian
Meskipun Omnibus berupaya menyederhanakan aturan, timeline implementasi tetap menjadi tantangan. CSRD dan CSDDD diperkirakan akan mengalami proses legislasi hingga akhir 2026, dengan standar baru diadopsi dan diterapkan di tingkat nasional pada 2027. Oleh karena itu, perusahaan disarankan untuk mulai menyelaraskan perencanaan keuangan, proses regulasi, dan keterlibatan pemangku kepentingan guna memitigasi risiko serta memanfaatkan peluang dalam kerangka regulasi yang terus berkembang.
Baca juga: Ekspor Lampaui 639 Juta Dolar AS, Kemenperin Pacu Industri Obat Bahan Alam
Walaupun terdapat perubahan besar dalam kewajiban pelaporan, beberapa elemen utama tetap dipertahankan, termasuk konsep materialitas ganda (double materiality), kewajiban uji tuntas dalam CSDDD, serta tema inti dalam persyaratan pelaporan keberlanjutan. Ini menunjukkan bahwa meskipun regulasi dirombak, aspek fundamental dari transparansi dan akuntabilitas tetap menjadi fokus utama.
Namun, Omnibus juga memunculkan berbagai kekhawatiran. Pakar dan praktisi keberlanjutan, politisi, dan organisasi masyarakat sipil menyoroti risiko bahwa perubahan dalam kewajiban regulasi justru dapat menyebabkan inkonsistensi dalam pelaporan keberlanjutan, ketidakpastian regulasi, serta terhambatnya investasi dalam keberlanjutan. Reaksi pasar awal menunjukkan bahwa kurangnya kejelasan regulasi justru berpotensi menciptakan birokrasi tambahan dan melemahkan daya saing bisnis, terutama ketika negara lain seperti Jepang dan China mulai memperketat regulasi keberlanjutan mereka.
Mencari Keseimbangan antara Efisiensi dan Transparansi
Beberapa kajian ilmiah menunjukkan bahwa deregulasi yang bertujuan meningkatkan efisiensi ekonomi memang dapat mempercepat inovasi. Namun, hal ini juga berisiko memusatkan kekuatan ekonomi pada segelintir pelaku usaha besar, meningkatkan harga bagi konsumen, dan bahkan melemahkan upaya keberlanjutan. Artinya, meskipun Omnibus bertujuan mengurangi beban administratif, dampak tidak terduga seperti berkurangnya transparansi dan potensi inefisiensi pasar tetap perlu diwaspadai.
Untuk mengatasi tantangan ini, Uni Eropa menargetkan pengurangan beban pelaporan sebesar 25% bagi perusahaan besar dan 35% bagi usaha kecil, sebagaimana direkomendasikan dalam Laporan Draghi. Strategi yang dirancang mencakup:
– Menyelaraskan kebutuhan data dengan kepentingan investor.
– Menyesuaikan tenggat waktu kepatuhan agar lebih realistis.
– Memprioritaskan pelaporan terhadap aktivitas yang paling berisiko tinggi terhadap lingkungan dan sosial.
– Mengubah indikator keuangan agar tidak menghambat investasi pada usaha kecil.
Selain itu, rancangan kebijakan terbaru juga menghapus beberapa kewajiban pelaporan bagi usaha kecil yang menjadi bagian dari rantai pasok perusahaan besar. Uni Eropa bahkan menetapkan definisi baru untuk perusahaan small mid-cap (berkaryawan 250-1.500 orang dengan omzet di bawah €1,5 miliar atau total neraca tidak melebihi €2 miliar) guna mengurangi beban kepatuhan mereka.
Langkah lain yang mungkin diambil adalah fase penerapan bertahap (phasing-in) untuk beberapa persyaratan pelaporan, serta membuat kewajiban tertentu menjadi opsional, guna memberikan ruang adaptasi yang lebih luas bagi dunia usaha.
Terlepas dari bagaimana Omnibus akhirnya disahkan, perusahaan tetap perlu melanjutkan persiapan mereka terhadap standar keberlanjutan Uni Eropa. Menunda kesiapan kini justru dapat menghilangkan peluang nilai tambah di masa depan. Selain itu, risiko ketidakpatuhan tetap ada, mengingat hasil akhir regulasi ini masih belum sepenuhnya dapat diprediksi.
Dalam lanskap regulasi yang terus berubah, tantangan utama adalah menyeimbangkan daya saing bisnis dengan keberlanjutan jangka panjang. Oleh karena itu, perusahaan perlu mengembangkan strategi adaptif yang tidak hanya berfokus pada kepatuhan, tetapi juga menjadikan keberlanjutan sebagai faktor utama dalam transformasi bisnisnya.
Dampak bagi Indonesia: Tantangan dan Strategi Adaptasi
Dengan semakin ketatnya regulasi keberlanjutan Uni Eropa melalui EU Omnibus, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh perusahaan di Eropa, tetapi juga oleh negara mitra dagang seperti Indonesia. Sebagai salah satu eksportir utama produk berbasis sumber daya alam—termasuk minyak kelapa sawit, karet, kopi, kakao, serta produk manufaktur seperti baja dan tekstil—Indonesia tidak dapat mengabaikan perubahan ini. Jika tidak segera beradaptasi, risiko hambatan perdagangan, peningkatan biaya kepatuhan, serta kehilangan daya saing di pasar Eropa menjadi ancaman nyata.
Salah satu tantangan terbesar adalah penerapan CBAM yang menargetkan produk dengan emisi karbon tinggi, seperti baja dan aluminium. Dengan adanya pembatasan impor bagi importir kecil (≤50 ton per tahun) serta mekanisme anti-penghindaran yang lebih ketat, eksportir Indonesia harus siap menghadapi proses sertifikasi karbon yang lebih kompleks. Perusahaan yang tidak dapat memenuhi standar emisi UE kemungkinan akan menghadapi biaya tambahan atau bahkan ditolak masuk ke pasar Uni Eropa.
Di sektor agribisnis, meskipun regulasi Omnibus memberikan fleksibilitas dalam pelaporan keberlanjutan, ketentuan utama dalam EUDR dan CSDDD tetap berlaku. Ini berarti produk seperti kelapa sawit, kopi, dan karet yang masuk ke Uni Eropa harus memenuhi standar keterlacakan yang ketat dan bebas deforestasi. Jika rantai pasok tidak transparan atau ada indikasi pelanggaran hak asasi manusia dalam produksi, maka risiko pembatasan impor semakin tinggi.
Baca juga: Dongkrak Kredibilitas, Danantara Harus Investasi di Energi Terbarukan
Selain itu, perubahan dalam EU Taxonomy dan CSRD juga dapat berdampak pada akses investasi bagi perusahaan Indonesia. Dengan fokus investasi Uni Eropa yang semakin diarahkan ke sektor hijau, perusahaan yang tidak memiliki standar keberlanjutan yang jelas berpotensi mengalami kesulitan dalam mendapatkan pendanaan internasional.
Strategi: Menghadapi dan Memanfaatkan Perubahan
Agar tidak tertinggal dan justru mampu memanfaatkan perubahan ini sebagai peluang, Indonesia perlu melakukan strategi adaptasi di berbagai lini, baik di level pemerintah maupun sektor swasta.
1. Meningkatkan Standar Keberlanjutan dalam Rantai Pasok
– Perusahaan eksportir harus mulai menerapkan sistem keterlacakan yang lebih transparan, termasuk penggunaan teknologi seperti blockchain dan satelit untuk memonitor rantai pasok produk pertanian dan kehutanan.
– Sertifikasi keberlanjutan, seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) atau SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu), perlu diperkuat agar sejajar dengan standar Eropa.
2. Mempercepat Dekarbonisasi Industri
– Industri manufaktur, terutama sektor baja, tekstil, dan petrokimia, perlu mulai berinvestasi dalam teknologi rendah karbon untuk mengurangi emisi dan memenuhi standar CBAM.
– Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal bagi industri yang melakukan transisi energi, seperti pajak karbon yang berbasis insentif untuk perusahaan yang beralih ke energi terbarukan.
3. Memanfaatkan Reformasi Keuangan Berkelanjutan
– Dengan penyederhanaan EU Taxonomy, perusahaan Indonesia bisa menyesuaikan standar pelaporan keberlanjutan mereka agar lebih kompatibel dengan standar Eropa.
– Sektor keuangan perlu mendorong sukuk hijau dan skema pembiayaan berkelanjutan lainnya untuk mendukung transisi bisnis menuju praktik yang lebih ramah lingkungan.
4. Memperkuat Diplomasi Ekonomi dan Perdagangan
– Pemerintah perlu mengintensifkan negosiasi dengan Uni Eropa agar kebijakan keberlanjutan tidak menjadi hambatan dagang yang merugikan Indonesia secara sepihak.
– Perwakilan dagang dan asosiasi industri perlu lebih proaktif dalam berdialog dengan regulator Eropa untuk memastikan bahwa standar keberlanjutan Indonesia diakui dalam mekanisme penilaian Uni Eropa.
Regulasi Uni Eropa yang semakin ketat dalam aspek keberlanjutan bukan hanya tantangan, tetapi juga peluang bagi Indonesia untuk melakukan transformasi ekonomi yang lebih hijau dan berkelanjutan. Jika Indonesia hanya bersikap reaktif dan tidak melakukan persiapan serius, risiko kehilangan akses pasar, peningkatan biaya kepatuhan, dan penurunan daya saing global menjadi semakin besar.
Sebaliknya, jika Indonesia dapat menyesuaikan kebijakan industri, meningkatkan transparansi rantai pasok, dan mempercepat dekarbonisasi, maka reformasi ini dapat menjadi batu loncatan untuk meningkatkan daya saing ekspor serta menarik lebih banyak investasi hijau dari Eropa dan dunia internasional. Dengan langkah yang tepat, Indonesia tidak hanya dapat memitigasi dampak dari regulasi ini, tetapi juga memanfaatkannya sebagai peluang untuk memperkuat posisi dalam perdagangan global yang semakin berorientasi pada keberlanjutan. Kunci utama terletak pada kesiapan, inovasi, dan kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, serta komunitas bisnis dalam menavigasi perubahan regulasi global ini. ***
Oleh: Diah Y. Suradiredja (Pemerhati perdagangan berkelanjutan).