Ecobiz.asia – Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi hijau melalui pengelolaan karbon yang tepat.
Hal ini disampaikan Belladonna Troxylon Maulianda, Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno dalam acara Carbon Talks 2.0 bertajuk “Navigating Indonesia’s Carbon Market: Opportunities Under the Mutual Recognition Agreement” yang diselenggarakan oleh CarbonEthics, di Jakarta, Rabu (28/5/2025).

Belladona menyebut bahwa kekayaan sumber daya alam Indonesia terkait karbon dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi hijau.
Baca juga: Upaya Dekarbonisasi PIS untuk Mengejar Target Nol Emisi Karbon
“Kita memiliki begitu besar sumber daya alam terkait karbon yang bisa dioptimalkan. Ini memerlukan sinergi antara solusi berbasis alam dan teknologi agar dampaknya maksimal,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 3.600 gigawatt, namun baru sekitar 7 gigawatt yang dimanfaatkan. Di sisi lain, potensi penyimpanan karbon melalui teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) mencapai 600 gigaton yang belum tergarap maksimal.
Menurutnya, sektor karbon dapat menghasilkan pendapatan antara 5 hingga 34 miliar dolar AS pada 2030. “Sebagian besar potensi tersebut berasal dari penerapan pajak karbon dan pengembangan pasar karbon,” katanya.
Dalam rangka membangun ekosistem karbon nasional, Belladona menekankan pentingnya memperkuat seluruh rantai pasok dari hulu ke hilir. Hal ini termasuk kerangka hukum yang kuat serta daya tarik investasi agar proyek-proyek karbon bersifat bankable dan diminati investor.
“Pemerintah telah memiliki landasan hukum melalui Perpres 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon dan Perpres Nomor 14 Tahun 2024 tentang CCS. RUPTL 2025–2034 juga sudah mengakomodasi pengembangan energi baru terbarukan. Namun, masih dibutuhkan investasi sebesar Rp1.700 triliun hingga tahun 2038,” jelasnya.
Baca juga: ACEXI Dorong Desentralisasi Pengelolaan Karbon demi Keadilan Ekonomi Hijau
Belladona juga menyoroti pentingnya kerja sama internasional melalui mekanisme Mutual Recognition Agreement (MRA) untuk membuka akses pasar karbon global. MRA, menurutnya, penting untuk menjaga kredibilitas standar karbon dan memperkuat kedaulatan iklim nasional.
Beberapa bentuk kerja sama yang sudah berjalan mencakup MRA dengan Gold Standard, serta mekanisme Joint Credit Mechanism (JCM) bersama Jepang yang telah berlangsung sejak 2012 untuk proyek CCS dan CCUS (Carbon Capture, Utilization, and Storage). ***