Ecobiz.asia – Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menegaskan bahwa keterlibatan publik (public engagement) menjadi kunci dalam menjawab tantangan rehabilitasi mangrove di Indonesia.
“Anggaran negara tidak bisa lagi diandalkan sepenuhnya untuk rehabilitasi mangrove. Dukungan publik—baik dari masyarakat, sektor swasta, hingga kerja sama internasional—adalah kunci keberhasilan jangka panjang,” ujar Direktur Rehabilitasi Mangrove Kemenhut Dr. Ristianto Pribadi dalam forum HIMASIERA Goes to Company and Government (HIMCOMENT) di Jakarta, Jumat (23/5/2025).

Ia menjelaskan, keterlibatan publik dapat mendorong munculnya pembiayaan alternatif seperti corporate social responsibility (CSR), skema blended finance, hingga kemitraan multipihak yang saling menguntungkan.
Dengan membangun kepercayaan publik melalui kampanye dan komunikasi yang transparan, Kemenhut menargetkan terciptanya sinergi berkelanjutan antara negara dan masyarakat dalam upaya menjaga ekosistem pesisir ini.
Indonesia memiliki hampir seperempat total luas mangrove dunia, menjadikannya pemain utama dalam inisiatif karbon biru (blue carbon).
Namun, tantangan di lapangan masih besar. Ristianto mengungkapkan bahwa program rehabilitasi mangrove menghadapi sejumlah kendala seperti abrasi, rob, serangan hama, minimnya anggaran, hingga alih fungsi lahan di tingkat tapak.
Selain itu, dari sisi kelembagaan dan kebijakan, ia menyoroti perlunya pembaruan regulasi yang lebih responsif terhadap dinamika lapangan, serta perlunya integrasi hasil rehabilitasi ke dalam skema pemanfaatan yang memberi nilai ekonomi dan manfaat langsung kepada masyarakat.
“Selama ini fokus kegiatan masih terlalu berat pada penanaman. Padahal rehabilitasi butuh pendekatan menyeluruh, termasuk investasi, insentif, pemanfaatan hasil, dan penguatan kelembagaan,” jelasnya.
Baca juga: Berhasil Tumbuh 98 Persen, Mangrove Donasi MedcoEnergi Selamatkan Pantai Sederhana dari Abrasi
Berdasarkan data Direktorat Rehabilitasi Mangrove, dari total potensi habitat mangrove seluas 769 ribu hektare, sekitar 70% di antaranya berada pada lahan tambak yang telah mengalami perubahan fungsi.
Sementara luasan mangrove yang dikategorikan lebat dan perlu dipertahankan mencapai 2,6 juta hektare, serta 497 ribu hektare lainnya merupakan kawasan mangrove jarang atau rusak yang berpotensi direhabilitasi.
Untuk merespons kondisi tersebut, Kemenhut tengah mengembangkan Peta Arahan Investasi dan Kelembagaan Rehabilitasi Mangrove yang membagi kawasan ke dalam zona-zona berdasarkan tingkat kesiapan lahan.
Peta ini akan menjadi instrumen penting dalam kampanye publik dan alat pemantauan di masa mendatang.
“Tujuan akhirnya adalah membangun kepercayaan publik. Kalau kepercayaan itu sudah terbentuk, maka keterlibatan publik akan mengalir, baik melalui pembiayaan, pendampingan teknis, maupun pengelolaan berkelanjutan,” tutur Ristianto.
Ia menambahkan bahwa edukasi kepada masyarakat dan kelompok tani hutan menjadi bagian penting dari strategi komunikasi mangrove nasional.
Pemerintah juga mencatat sejumlah kisah sukses rehabilitasi mangrove seperti di Karangsong (Jawa Barat), Baros (Yogyakarta), Balikpapan (Kalimantan Timur), dan Tahura Ngurah Rai (Bali), yang menunjukkan potensi besar jika publik dilibatkan secara aktif.
Dengan tantangan yang semakin kompleks dan dukungan APBN yang kian terbatas, Ristianto menegaskan bahwa rehabilitasi mangrove tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan birokratis. “Perlu pendekatan sosial, kolaboratif, dan inklusif. Rehabilitasi mangrove adalah tanggung jawab kita bersama,” katanya.
Baca juga: Berhasil Tumbuh 98 Persen, Mangrove Donasi MedcoEnergi Selamatkan Pantai Sederhana dari Abrasi
HIMCOMENT diselenggarakan oleh Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB University dan diikuti oleh mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) IPB University.
Pada kesempatan tersebut, Dr. Bayu Eka Yulian, Dosen SKPM IPB University juga turut memberikan materi dalam kegiatan dengan topik Empowering Communities to Protect the Environment with Social Engineering. ****