MORE ARTICLES

Kerja Sama Regional Jadi Kunci Sukses Pengelolaan Mangrove ASEAN

Ecobiz.asia – Upaya pelestarian hutan mangrove di Asia Tenggara membutuhkan sinergi lintas negara yang mengedepankan ilmu pengetahuan, kearifan lokal, partisipasi masyarakat, dan pendekatan berbasis solusi alam. 

Dalam menghadapi tantangan bersama seperti deforestasi, abrasi pantai, dan perubahan iklim, strategi pengelolaan mangrove yang terkoordinasi di tingkat ASEAN dinilai menjadi fondasi penting untuk mewujudkan ketahanan ekosistem pesisir yang berkelanjutan dan inklusif.

- Advertisement - Iklan

Hal itu mengemuka dalam Diskusi Publik tentang Pedoman Pelaksanaan Strategi Regional ASEAN untuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan 2024–2030 yang diselenggarakan di Jakarta, Rabu (12/6/2025). 

Baca juga: ESG Jadi Fokus Global, Freeport Kembangkan Kolaborasi Universitas dan Proyek Mangrove

Acara ini menjadi forum dialog multipihak untuk menyusun panduan implementasi strategi yang telah disepakati negara-negara ASEAN melalui pendekatan kolaboratif dan berbasis bukti.

Direktur Rehabilitasi Mangrove Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Ristianto Pribadi, menekankan bahwa strategi yang telah disusun ASEAN harus diwujudkan menjadi aksi nyata di tingkat nasional dan lokal. 

“Strategi yang kuat harus dilengkapi dengan mekanisme implementasi yang jelas dan aplikatif. Itulah sebabnya kita berkumpul hari ini,” ujarnya.

Ristianto menyampaikan bahwa ekosistem mangrove di Asia Tenggara merupakan salah satu aset paling penting di kawasan pesisir. 

Hutan mangrove tidak hanya melindungi garis pantai dari abrasi dan badai, tetapi juga mendukung perikanan, menyimpan karbon dalam jumlah besar, dan menopang mata pencaharian jutaan masyarakat di wilayah pesisir dan kepulauan.

Meski demikian, kawasan ini telah mengalami kehilangan hutan mangrove yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. 

Berdasarkan data FAO (2006), pada 1980 Asia Tenggara memiliki sekitar 6,8 juta hektare hutan mangrove, atau sekitar 34 hingga 42 persen dari total mangrove dunia. Namun jumlah ini menurun menjadi kurang dari 5,7 juta hektare pada 1990, yang berarti hilangnya lebih dari 110.000 hektare per tahun. 

Meski laju kehilangan menurun menjadi 79.000 hektare per tahun pada dekade berikutnya, proporsi penurunan tetap besar, yakni 13,8 persen antara 1990 hingga 2000.

Menjawab tantangan tersebut, ASEAN membentuk ASEAN Mangrove Network (AMNET) sebagai wadah kerja sama antarnegara anggota dalam memperkuat konservasi dan rehabilitasi mangrove. 

Baca Juga:  Indonesia Lirik Kerja Sama Pengembangan Energi Bersih dengan India, Menteri Bahlil Singgung Arahan Prabowo

Baca juga: Kembangkan Pemanfaatan Lamun dan Mangrove di Asia Tenggara, ASEAN, Jepang, dan UNDP Luncurkan Proyek Karbon Biru 

Melalui proyek “Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kawasan ASEAN”, jaringan ini mendorong pertukaran praktik terbaik, pembelajaran bersama, dan perbaikan tata kelola mangrove di setiap negara anggota.

Salah satu capaian utama AMNET adalah tersusunnya Strategi Regional ASEAN untuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan 2024–2030. Strategi ini dirancang dengan pendekatan berbasis ilmu pengetahuan, inklusif, dan selaras dengan prioritas nasional serta regional. Di dalamnya termuat visi bersama untuk pengelolaan mangrove yang adaptif, partisipatif, dan inovatif.

Ristianto menekankan lima prinsip utama dalam strategi tersebut yang perlu dijabarkan dalam pedoman pelaksanaannya. Pertama, integrasi antara sains dan pengetahuan lokal. Kebijakan harus berbasis data ilmiah namun tetap mengakui nilai pengetahuan tradisional masyarakat lokal dalam menjaga mangrove.

Kedua, pemberdayaan komunitas. “Masyarakat lokal bukan sekadar penerima manfaat, mereka adalah aktor utama dalam pengelolaan mangrove. Partisipasi mereka sangat penting bagi keberhasilan konservasi,” tegasnya.

Ketiga, penguatan ketahanan iklim melalui solusi berbasis alam. Mangrove mampu menyerap karbon, meredam badai, dan menstabilkan garis pantai. Oleh karena itu, pengelolaannya harus terintegrasi dengan target-target global seperti Paris Agreement, Kerangka Keanekaragaman Hayati Kunming-Montreal, dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Baca juga: Jalankan Program Sabuk Hijau, Lautan Luas Tanam 10.000 Mangrove di Semarang

Keempat, kolaborasi regional dan konsistensi kebijakan. Ristianto menyatakan bahwa masalah-masalah seperti degradasi habitat dan kenaikan permukaan laut tidak mengenal batas negara. Oleh karena itu, kebijakan yang disusun harus mendorong pertukaran pengetahuan lintas negara, pemantauan bersama, serta harmonisasi kebijakan di kawasan ASEAN.

Kelima, inovasi dan pembiayaan. Menurutnya, pengelolaan mangrove tidak hanya membutuhkan kebijakan yang baik, tetapi juga pendekatan inovatif dalam pendanaan, pemantauan, dan teknologi. Ristianto mencontohkan potensi pemanfaatan pasar karbon biru dan platform digital sebagai instrumen untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan mangrove.

Diskusi publik ini dihadiri oleh perwakilan dari Sekretariat ASEAN, negara-negara anggota ASEAN, organisasi pembangunan internasional, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan pemimpin komunitas. Ristianto menyampaikan apresiasinya kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan strategi ini, termasuk ASEAN Secretariat, LPP Mangrove, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan para mitra internasional.

Baca Juga:  Terbitkan Permen KP No 1 Tahun 2025, KKP Targetkan Perdagangan Karbon Sektor Kelautan Jalan Tahun Ini

Ristianto berharap diskusi ini tidak hanya menjadi ajang berbagi praktik baik, tetapi juga memperkuat kemitraan lintas negara dalam menghadapi tantangan bersama. Ia mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bergerak dari pernyataan niat menuju aksi konkret yang terukur.

“Dengan semangat kerja sama, kita bisa menjadikan kawasan ASEAN sebagai contoh sukses pengelolaan mangrove berkelanjutan di tingkat global,” pungkasnya. ***

MORE ARTICLES

LATEST