Ecobiz.asia – International Blue Carbon Institute (IBCI) memperkuat komitmennya dalam pengembangan ekosistem lamun (seagrass) sebagai salah satu solusi berbasis alam dalam mitigasi perubahan iklim, khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Langkah ini menjadi bagian dari strategi global untuk mendorong peran karbon biru dalam kebijakan lingkungan nasional dan regional.

“Lamun adalah ekosistem yang sangat efektif dalam menyerap dan menyimpan karbon, namun potensinya masih belum sepenuhnya diakui,” ujar Pimchanok Buapet, Direktur Ilmu Pengetahuan dan Teknologi IBCI, dalam webinar Scaling Seagrass Blue Carbon: IBCI’s Global Work and Its Relevance to Indonesia, Jumat (2/5/2025).
Baca juga: RI-AS Tuntaskan Debt for Nature Swap Senilai 35 Juta Dolar AS untuk Konservasi Terumbu Karang
Menurut Pimchanok, salah satu hambatan utama dalam pemanfaatan lamun sebagai solusi iklim adalah minimnya data spasial dan pemahaman ilmiah yang komprehensif.
Untuk menjawab tantangan tersebut, IBCI menjalin kolaborasi strategis dengan NASA dalam mengembangkan teknologi penginderaan jauh guna pemetaan lamun berskala besar.
“Bersama NASA, kami sedang mengembangkan pendekatan berbasis satelit untuk memetakan sebaran lamun secara lebih efisien dan akurat di kawasan pesisir,” jelasnya.
IBCI juga aktif membangun kemitraan nasional, termasuk dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Indonesia. Kolaborasi ini bertujuan menyelaraskan upaya pemetaan dan pengelolaan lamun dengan kerangka kebijakan lingkungan nasional.
Baca juga: Jalankan Program Sabuk Hijau, Lautan Luas Tanam 10.000 Mangrove di Semarang
“Kami tidak berupaya menggandakan kerja yang sudah ada. Justru kami ingin mendukung upaya BRIN dalam menyusun peta lamun nasional dengan berbagi data dan keahlian teknis,” tambahnya.
Tak hanya berhenti pada riset, IBCI juga mendorong terbentuknya jejaring regional melalui inisiatif Southeast Asian Blue Carbon Network.
Jaringan ini didesain untuk memperkuat kolaborasi antara peneliti, pembuat kebijakan, hingga pelaku konservasi di Asia Tenggara, dalam memajukan konservasi dan restorasi ekosistem karbon biru.
Baca juga: KKP Tetapkan Dua Kawasan Konservasi Laut Baru, Luasnya Ratusan Ribu Hektar
“Jaringan ini sangat penting, tidak hanya untuk memperluas kolaborasi, tetapi juga untuk memperkuat advokasi dan pengaruh kebijakan yang berbasis sains,” tegas Pimchanok.
Menutup paparannya, Pimchanok mengajak lebih banyak pihak untuk terlibat dalam proyek-proyek karbon biru, termasuk berbagi data dan berpartisipasi dalam pelatihan kapasitas.
“Kami mengundang organisasi, akademisi, dan individu untuk bergabung dalam inisiatif ini. Dengan kolaborasi, Asia Tenggara dapat menjadi pionir dalam solusi iklim berbasis ekosistem pesisir,” tandasnya. ***