Oleh: Ir. Diah. Y. Suradiredja, M.H (Mahasiswa Program Doktoral, IPB University)
PARALEL dengan Regulasi EUDR yang semakin dekat implementasinya, panggilan hijau Tiongkok terus bergulir dan disiapkan pemerintahnya untuk melindungi para pelaku pasar di Tiongkok dalam melakukan praktik berkelanjutan.

Sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, Tiongkok memegang peran krusial dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. Langkah ini semakin diperkuat dengan komitmen Presiden Xi Jinping yang menargetkan puncak emisi sebelum tahun 2030 dan mencapai netralitas karbon pada tahun 2060. Komitmen ini diikuti oleh serangkaian target spesifik yang diumumkan pada Desember 2020 dan diintegrasikan ke dalam environmental goals dalam Tiongkok Vision 2035.
Pedoman Utama Tiongkok Sebagai Landasan Regulasi Hijau
Konsep ecological civilization atau “peradaban ekologis” telah menjadi pedoman utama Tiongkok dalam menghadapi tantangan lingkungan, termasuk perubahan iklim, dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Pembangunan “peradaban ekologis” terus menjadi prioritas dalam Rencana Lima Tahun ke-14 Tiongkok (2021-2025). Konsep ini diharapkan tidak hanya memainkan peran penting dalam pembangunan domestik Tiongkok tetapi juga dalam keterlibatan negara tersebut dalam tata kelola global. Presiden Xi Jinping bahkan mengusulkan visi “membangun komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia” untuk bersama-sama mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, kemiskinan, dan polusi lingkungan, serta mengurangi emisi karbon, melestarikan keanekaragaman hayati, mendorong penghijauan, dan mencegah deforestasi.
Konsep peradaban ekologis ini telah menarik perhatian komunitas global karena manfaatnya yang beragam, mendapatkan banyak pujian dari berbagai pihak. Sebagai contoh, laporan bersama antara World Bank dan China State Council Development Research Center mencerminkan visi pembangunan hijau yang berbasis pada peradaban ekologis ini, selain itu terdapat juga laporan yang diterbitkan oleh UNEP tentang upaya Tiongkok menuju peradaban ekologis.
Lebih lanjut, konsep peradaban ekologis juga terwujud dalam kebijakan-kebijakan Tiongkok. The Belt and Road Initiative (BRI) dan International Green Development Coalition (BRIGC) adalah jaringan internasional yang terbuka, inklusif, dan sukarela. Dengan mengacu pada Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan, koalisi ini menggabungkan keahlian lingkungan dari mitra-mitra BRI untuk mencapai tujuan pembangunan yang hijau dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Diharapkan bahwa koalisi ini akan berbagi konsep pembangunan hijau dan berkelanjutan, berbagi pengetahuan dan data tentang pencegahan dan pengendalian polusi, perlindungan dan pengelolaan lingkungan, pengembangan infrastruktur yang berkelanjutan, dan pembangunan hijau.
Baca juga: Dokumen Penurunan Emisi Second NDC Terus Digodok, Mencakup Sektor Kelautan dan Hulu Migas
Hingga Desember 2023, sebanyak 146 negara telah menjadi bagian dari proyek BRI Tiongkok, menunjukkan bahwa sebagian besar negara di dunia menyadari pentingnya proyek ini, baik dalam skala domestik, regional, maupun global. Proyek BRI ini diyakini akan membantu negara-negara tersebut mempercepat pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan jutaan orang melalui berbagai proyek pembangunan.
Pengurangan deforestasi juga menjadi salah satu fokus utama dalam upaya mengatasi perubahan iklim global. Rantai pasokan komoditas seperti kedelai, minyak sawit, daging sapi, kayu, dan kertas berperan besar dalam deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati. Negara konsumen utama seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat telah menerapkan kebijakan seperti U.S. Lacey Act dan EU Deforestation-free Regulation untuk mengatasi masalah ini. Di Tiongkok, kesadaran akan pentingnya menjaga rantai pasokan komoditas dalam menghadapi perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati terus meningkat. Pada tahun 2020, Tiongkok Council for International Cooperation on Environment and Development (CCICED) melakukan studi kebijakan untuk menghijaukan rantai pasokan komoditas. Selain itu, terdapat BRIGC yang sedang mengembangkan Indeks Rantai Pasokan Komoditas Hijau (Green Commodity Supply Chain Index) untuk meningkatkan keberlanjutan rantai pasokan di negara-negara peserta BRI.
Permintaan yang terus meningkat dan keterbatasan produksi dalam negeri menyebabkan impor kedelai, minyak sawit, daging sapi, kayu, dan kertas di Tiongkok kian melonjak dalam beberapa tahun terakhir. Tiongkok kini menjadi pengimpor terbesar di dunia untuk kedelai, daging sapi, dan kayu, serta pengimpor terbesar kedua untuk minyak sawit (CCICED 2020). Pangsa impor Tiongkok untuk komoditas-komoditas ini diperkirakan akan terus meningkat hingga tahun 2025 (World Economic Forum 2018). Pertumbuhan impor ini telah mendorong perluasan lahan perkebunan di negara-negara penghasil utama, yang menjadi salah satu pendorong utama deforestasi global.
Dengan perhatian yang semakin besar terhadap keberlanjutan rantai pasokan komoditas dan dampaknya terhadap deforestasi, bagian selanjutnya akan mengulas lebih dalam tentang Koalisi Pembangunan Hijau Internasional BRI (BRIGC) dan upayanya dalam mendorong pembangunan hijau secara global.
Baca juga: Menteri LHK Sebut Kelompok Tani Hutan Gerakkan Ekonomi Kehutanan, Ada Peran Penyuluh
The Belt and Road Initiative International Green Development Coalition (BRIGC)
Belt and Road Initiative (BRI) adalah upaya yang dipimpin oleh Tiongkok untuk mendorong pembangunan ekonomi dan konektivitas antar wilayah di lebih dari 115 negara, menjadikannya investasi infrastruktur terbesar dalam beberapa generasi. Proyek ini melibatkan investasi triliunan dolar yang sebagian besar diarahkan pada infrastruktur transportasi, energi, dan telekomunikasi, serta pengembangan kapasitas industri dan teknis.
Namun, dengan skala pembangunan sebesar ini, tantangan lingkungan yang signifikan juga muncul. Selain dampak fisik langsung, jika investasi BRI membuat negara-negara peserta tergantung pada infrastruktur, teknologi, dan pemanfaatan sumber daya yang tidak berkelanjutan, hal ini bisa menimbulkan dampak lingkungan negatif yang bertahan lama. Akibatnya, banyak negara akan kesulitan mencapai target dalam Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Oleh karena itu, setiap keputusan investasi dalam BRI harus berdasarkan pengetahuan yang kuat dan ilmiah. Perlindungan sosial dan lingkungan juga perlu diterapkan agar proyek-proyek tersebut melibatkan pemangku kepentingan dengan baik dan manfaatnya bisa dibagi secara adil.
Belt and Road Initiative (BRI) adalah upaya yang dipimpin oleh Tiongkok untuk mendorong pembangunan ekonomi dan konektivitas antar wilayah di lebih dari 115 negara, menjadikannya investasi infrastruktur terbesar dalam beberapa generasi.
Salah satu cara untuk meningkatkan keberlanjutan lingkungan dari BRI adalah melalui Koalisi Pembangunan Hijau Internasional BRI (BRIGC). Koalisi ini diluncurkan pada Belt and Road Forum for International Cooperation yang ke-2 yang berlangsung di Beijing dari 25 hingga 27 April 2019. Koalisi ini merupakan inisiatif bersama antara Kementerian Ekologi dan Lingkungan Hidup Republik Rakyat Tiongkok (MEE) dan mitra internasional. Adanya kebutuhan yang kian besar untuk mengimplementasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 PBB dan mencapai target Perjanjian Paris bagi negara-negara peserta BRI, mengharuskan pemerintah, lembaga pembangunan lokal dan internasional, think tank, sektor swasta, masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lainnya untuk bekerja sama memaksimalkan upaya pembangunan hijau.
Koalisi ini merupakan jaringan internasional yang terbuka, inklusif, dan sukarela, yang menyatukan keahlian lingkungan dari semua mitra untuk memastikan bahwa BRI membawa pembangunan hijau dan berkelanjutan jangka panjang ke semua negara terkait, mendukung Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Saat ini, Koalisi ini melibatkan 134 mitra, termasuk 26 Kementerian Lingkungan Hidup dari negara-negara anggota PBB.
Tujuan utama BRIGC adalah untuk mempromosikan pemahaman, kerja sama, dan tindakan bersama internasional untuk mencapai pembangunan hijau dalam kerangka BRI, mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan ke dalam BRI melalui upaya bersama, dan membantu negara-negara peserta BRI mengimplementasikan integrasi yang kuat antara elemen lingkungan dan pembangunan dari SDGs.
Kegiatan Koalisi ini mencakup penelitian, seminar, dan lokakarya tentang pembangunan hijau di bawah BRI, proyek percontohan, peningkatan kapasitas, dan kegiatan penyuluhan. Selain itu, Koalisi akan menyelenggarakan Pertemuan High-Level Roundtable for Green Development on the Belt and Road serta sejumlah Kemitraan Tematik yang melibatkan para mitra koalisi. Area Kemitraan Tematik ini meliputi, tetapi tidak terbatas pada:
– Pengelolaan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem;
– Energi Hijau dan Efisiensi Energi;
– Keuangan dan Investasi Hijau;
– Peningkatan Kualitas Lingkungan dan Kota Hijau;
– Kerjasama Lingkungan Selatan-Selatan dan Peningkatan Kapasitas Menuju Realisasi Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030;
– Inovasi Teknologi Hijau dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan;
– Berbagi Informasi Lingkungan dan Big Data;
– Transportasi Berkelanjutan;
– Tata Kelola Perubahan Iklim Global dan Transformasi Hijau; dan
– Hukum, Regulasi, dan Standar Lingkungan.
Green Commodity Supply Chain Index (GCSCI)
Penghijauan rantai pasokan komoditas sejalan dengan visi Tiongkok untuk membangun Peradaban Ekologis dan konsep membangun komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia. Mengembangkan rantai pasokan komoditas yang lebih ramah lingkungan dan inklusif adalah cara yang efektif untuk membantu negara-negara peserta BRI dalam mengatasi tantangan, memperkuat keamanan rantai pasokan, serta menjadi kunci dalam mewujudkan BRI yang ramah lingkungan.
Lebih lanjut, BRIGC memiliki enam proyek penelitian, salah satunya adalah Indeks Rantai Pasokan Komoditas Hijau (GCSCI). Sejauh ini, tahap pertama dari indeks ini telah selesai, yakni melakukan pengembangan indikator dan metode untuk menyusun indeks. GCSCI dirancang sebagai alat untuk membantu pemerintah, perusahaan, dan lembaga keuangan di Tiongkok (termasuk yang terlibat dalam BRI) menilai risiko jangka panjang terhadap keamanan dan stabilitas rantai pasokan komoditas yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan sosial.
Baca juga: Harga Karbon RI Melorot 23,6 Persen Sejak Diluncurkan, Transaksi Masih Minim
Indeks ini mengkategorikan risiko sebagai “tinggi”, “sedang”, atau “rendah” dalam suatu wilayah yang menjadi sumber komoditas tersebut. Indeks ini juga menunjukkan isu lingkungan dan sosial mana yang mungkin menjadi resiko terbesar bagi keamanan atau stabilitas pasokan. Dengan menggunakan indeks ini, para pengambil keputusan dapat menentukan tingkat kewaspadaan dan perhatian lebih lanjut yang diperlukan ketika berinvestasi dalam proyek komoditas atau saat menjalin kontrak pengadaan komoditas. Penggunaan indeks ini berpotensi meningkatkan stabilitas dan keamanan rantai pasokan, mengurangi risiko terhadap operasi dan kontrak, serta membantu meningkatkan keberlanjutan keseluruhan rantai pasokan.
Jika suatu wilayah diklasifikasikan sebagai berisiko rendah, hal ini meningkatkan kemungkinan menjadi area pasokan atau tujuan investasi, serta bentuk kerja sama perdagangan lainnya bagi peserta BRI. Sebaliknya, jika hasil pengukuran menunjukkan risiko sedang atau tinggi, maka penting untuk melakukan tinjauan yang lebih mendalam untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan hasil penilaian tersebut.
Menurut laporan kemajuan Green Supply Chain Index yang diterbitkan oleh Sekretariat BRIGC pada tahun 2020, risiko dalam “komoditas lunak” sangat tinggi dalam agenda politik, bisnis, dan keuangan (termasuk yang terlibat dalam BRI) karena beberapa alasan. Pertama, dari segi lingkungan, beberapa komoditas seperti kedelai, minyak sawit, daging sapi, produk hutan (kayu, pulp, dan kertas), kopi, dan kakao menimbulkan tantangan besar bagi pembangunan berkelanjutan, terutama terkait dengan deforestasi, perubahan iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Banyak negara penghasil komoditas ini memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan tingkat deforestasi yang tinggi. Misalnya, di negara-negara seperti Brasil dan Indonesia, hilangnya tutupan hutan dalam dua dekade terakhir terkait erat dengan produksi komoditas seperti kelapa sawit dan pulp di Indonesia, serta daging sapi dan kedelai di Brasil. Di sisi lain, konsumsi minyak sawit global meningkat dari 2013 hingga 2022, meskipun terjadi fluktuasi permintaan sesekali. Tiongkok menyumbang kurang dari 7% dari produksi minyak sawit global, namun hampir seluruh kebutuhan minyak sawitnya dipenuhi dengan impor dari Indonesia dan Malaysia, yang memasok lebih dari 85% total impor minyak sawit Tiongkok pada tahun 2022.
Kedua, terkait legalitas, perdagangan kayu ilegal diperkirakan mencapai $50 hingga $152 miliar secara global per tahun (UNEP, 2017). Selain itu, sebagian besar rantai pasokan komoditas lunak global terkait dengan pembukaan lahan ilegal, penebangan hutan ilegal, pelanggaran hak pekerja, penghindaran pajak, dan/atau pemberian izin secara korup. Ketiga, dari segi sosial, mata pencaharian petani terancam ketika produksi komoditas yang tidak berkelanjutan merusak lahan, memberikan upah rendah, mengurangi hasil panen, atau membatasi akses air. Rantai pasokan komoditas yang tidak berkelanjutan juga dapat mengganggu kondisi kerja, hak pekerja, dan hak atas tanah masyarakat pedesaan.
Alasan keempat adalah bahwa perdagangan “business-as-usual” untuk komoditas lunak merupakan ancaman bagi perjanjian-perjanjian internasional yang utama. Sebagai contoh, hal ini merusak aturan hukum internasional dan penegakan hukum nasional serta membuat pencapaian berbagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan menjadi sulit. Selain itu, deforestasi hutan tropis yang terus berlanjut oleh komoditas ini akan membuat pencapaian Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim dan target global yang disepakati dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) menjadi lebih sulit.
Alasan kelima berkaitan dengan profitabilitas bisnis. Sejarah baru-baru ini menunjukkan beberapa kasus terkenal –seperti United Cacao dan ABC Indústria e Comércio SA– dimana perusahaan mengalami kerugian finansial yang signifikan, kerusakan reputasi, dan kehilangan akses ke pasar dan/atau keuangan karena terlibat dalam praktik pembelian dan pengadaan komoditas lunak yang “business-as-usual” (lihat CCICED, 2020).
Salah satu cara untuk “menghijaukan” rantai pasokan komoditas adalah dengan menggunakan indeks risiko untuk membantu dalam keputusan pengadaan, investasi, dan lainnya. Lembaga pemerintah, lembaga keuangan, dan perusahaan dapat menggunakan indeks ini untuk menilai kinerja dan risiko yang dihadapi oleh perusahaan, investasi, dan/atau wilayah pengadaan.
Meskipun sudah ada beberapa indeks keberlanjutan yang berkaitan dengan rantai pasokan komoditas, seperti Indeks Green Supply Chain untuk Sektor Industri dari FECO, Indeks Keberlanjutan Pangan, dan indeks keberlanjutan perusahaan dari CDP, namun hingga saat ini belum ada yang berfokus secara khusus pada keberlanjutan rantai pasokan komoditas lunak. Indeks Rantai Pasokan Komoditas Hijau ini dirancang untuk mengisi kekosongan tersebut.
Indeks ini terdiri dari lima indikator utama yang mencakup sumber risiko lingkungan atau sosial dalam rantai pasokan, yaitu tingkat deforestasi, tekanan air, pertumbuhan hasil panen, risiko ilegalitas, dan pembangunan manusia. Khusus untuk indikator tingkat deforestasi, maka kehilangan hutan dalam indeks ini mengacu pada hilangnya area hutan akibat pembukaan lahan hutan dan mengubahnya menjadi lahan pertanian (untuk menanam komoditas lunak) atau akibat penebangan hutan alam untuk menghasilkan kayu dan pulp. Dalam hal ini, diusulkan pengukuran tingkat deforestasi yang berbeda untuk yurisdiksi yang berada di dalam zona ekosistem tropis dibandingkan dengan yang berada di zona ekosistem beriklim sedang dan subtropis. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan dinamika konversi hutan dan ketersediaan data di antara zona-zona tersebut.
Di dalam zona hutan tropis, wilayah dinilai berdasarkan tingkat kehilangan rata-rata tahunan di hutan alam dan hutan primer selama lima tahun terakhir. “Hutan primer” adalah bagian dari hutan alam dan dianggap sangat penting karena tingkat penyimpanan karbon dan keanekaragaman hayatinya yang sangat besar. Sedangkan di dalam zona hutan beriklim sedang dan subtropis, wilayah dinilai berdasarkan total hektar hutan yang hilang terkait dengan kegiatan kehutanan yang terjadi dalam lima tahun terakhir di dalam Bentang Alam Hutan Utuh (Intact Forest Landscapes/IFL). IFL didefinisikan sebagai hamparan ekosistem hutan alam yang tidak terputus yang tidak menunjukkan adanya aktivitas manusia yang signifikan dan cukup luas sehingga seluruh keanekaragaman hayati asli, termasuk populasi spesies yang beragam, dapat dipertahankan. Sehingga, apabila suatu wilayah mengadakan perluasan operasi penebangan ke dalam IFL, maka hal ini merupakan indikasi sistem pengelolaan hutan yang tidak berkelanjutan.
Baca juga: KLHK Tegaskan Nilai Ekonomi Karbon Bukan Semata Ekonomi, Sebut Soal Nilai Tambah
Progres seputar BRIGC
Dalam beberapa tahun terakhir, Belt and Road Initiative (BRI) semakin menekankan pembangunan hijau dan pertumbuhan berkelanjutan. Meskipun fokus utamanya adalah membangun infrastruktur perdagangan dan membentuk hubungan luar negeri bagi Tiongkok, BRI menghadapi kritik karena tidak secara memadai menangani rantai pasokan pertanian atau dampak keanekaragaman hayati dari deforestasi dalam proyek-proyek berskala besar. Meskipun pedoman untuk investasi luar negeri mendorong kepatuhan terhadap standar polusi dan penerapan langkah-langkah yang lebih ketat, standar-standar ini sering kali tidak jelas.
Terlepas dari tantangan-tantangan ini, BRI International Green Development Coalition (BRIGC) telah membuat langkah penting dalam mempromosikan dan mengimplementasikan inisiatif-inisiatif hijau di bawah kerangka kerja BRI, yang terdiri dari:
1. Pada tahun 2021, Pedoman Pembangunan Hijau Investasi Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional dikeluarkan oleh Kementerian Ekologi dan Lingkungan Hidup (MEE) dan Kementerian Perdagangan (MOFCOM), yang menekankan percepatan pembangunan hijau kerja sama investasi asing dan paradigma pembangunan baru;
2. Satu set Pedoman untuk Perlindungan Lingkungan Ekologis Kerjasama Investasi Asing dan Proyek Konstruksi dirilis pada tahun 2022 oleh MEE dan MOFCOM, yang memberikan rekomendasi lebih lanjut untuk manajemen risiko lingkungan dalam proyek-proyek Belt and Road. Perusahaan-perusahaan Tiongkok didorong untuk mematuhi peraturan dan standar lingkungan internasional atau Tiongkok, terutama jika negara tuan rumah memiliki standar lingkungan yang tidak memadai, dengan perhatian khusus pada manajemen risiko lingkungan untuk sektor energi, petrokimia, pertambangan, dan transportasi;
3. Juga pada tahun 2022, dokumen yang diterbitkan oleh Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC), Kementerian Luar Negeri (MFA), MEE, dan MOFCOM berjudul ‘Pendapat tentang Mempromosikan Pengembangan Hijau di bawah Inisiatif Sabuk dan Jalan’ memberikan panduan pada sektor inti BRI seperti infrastruktur, energi, dan transportasi. Selain itu, kerjasama dalam mempromosikan pengembangan hijau yang relevan dengan pembentukan rantai pasokan komoditas lunak hijau, seperti pembiayaan hijau di pasar internasional dan partisipasi aktif dalam pengembangan standar hijau untuk menyelaraskan dengan standar internasional, juga disebutkan;
4. Pada bulan Juni 2023, Taskforce on Green Value Chains for Tiongkok diluncurkan oleh Tropical Forest Alliance dan para pemimpin pasar rantai pasok global yang beroperasi di Tiongkok, di antaranya adalah Bunge, Cargill, Tiongkok Mengniu Dairy, L’Oreal, dan Nestle yang telah bergabung dalam satgas tersebut. Gugus tugas ini mendorong para pelaku rantai pasok global termasuk pemerintah, produsen, pedagang, dan retailer yang memasuki pasar Tiongkok untuk mengurangi deforestasi yang disebabkan oleh komoditas lunak;
5. Pada bulan November 2023, COFCO International dan Modern Farming Group (anak perusahaan Mengniu Group yang memproduksi susu dan produk susu) menandatangani Nota Kesepahaman (MOU) untuk perdagangan pertama kedelai ‘bebas deforestasi’ dari Brasil ke Tiongkok. Kesepakatan ini merupakan bagian dari Green Value Chain Taskforce dari World Economic Forum, yang menyatukan para pelaku bisnis untuk memerangi deforestasi yang disebabkan oleh komoditas, dan akan menjadi proyek percontohan untuk menciptakan lebih banyak ketahanan dalam industri agrikultur global, yang menyumbang lebih dari sepertiga emisi global, dan memajukan kerja sama yang saling menguntungkan antara negara produsen dan negara konsumen. Selain itu, kesepakatan ini, yang bernilai lebih dari $30 juta, merupakan pembelian kedelai pertama di Tiongkok dengan klausul yang secara jelas menyebutkan “bebas deforestasi dan konversi”, yang mengindikasikan bahwa produksi komoditas tersebut tidak menyebabkan perubahan pada ekosistem alami.
6. Pada bulan Maret 2024, Rapat Pengarahan untuk Mitra Utama BRIGC diadakan pada tanggal 15 Maret di Beijing, yang difokuskan untuk memajukan Green Silk Road dan pembangunan hijau BRI. Pertemuan yang dipimpin oleh Presiden BRIGC, Guo Jing, menekankan peran BRIGC sebagai organisasi internasional yang baru saja terdaftar dan upayanya dalam membina kerja sama internasional dalam pembangunan hijau. Para peserta, termasuk berbagai organisasi global, membahas pencapaian BRIGC pada tahun 2023 dan rencana untuk tahun 2024, serta menyatakan dukungan yang kuat untuk inisiatif hijau yang sedang berlangsung di bawah kerangka kerja BRI.
7. Selain itu, masih di bulan yang sama BRIGC juga mengadakan Pertemuan Dewan Kedua pada akhir Maret 2024. Hasil-hasil utama dalam pertemuan tersebut antara lain mencakup diskusi mengenai Green Investment and Finance Partnership (GIFP) dan rencana masa depan untuk kolaborasi berkelanjutan di negara-negara mitra BRI, yang bertujuan untuk memperkuat tata kelola lingkungan global. Dewan Pengarah mengakui kontribusi penting BRIGC dan menyatakan dukungan yang kuat untuk inisiatif masa depannya.
8. BRIGC dan Tiongkok Daily menandatangani Perjanjian Kerangka Kerja tentang Kerja Sama Komunikasi Internasional pada tanggal 18 April 2024 di Beijing. Kemitraan ini bertujuan untuk meningkatkan komunikasi internasional mengenai isu-isu ekologi dan lingkungan, selaras dengan Pemikiran Presiden Xi Jinping tentang Peradaban Ekologi. Kedua belah pihak berencana untuk berkolaborasi dalam acara-acara unggulan, platform digital, dan analisis dampak kebijakan, mempromosikan kontribusi Tiongkok terhadap tata kelola lingkungan global dan Agenda 2030 PBB melalui inisiatif Belt and Road. ***