Ecobiz.asia – Proyek-proyek karbon dari negara berkembang menghadapi hambatan struktural dalam menembus pasar global.
Lambannya regulasi nasional dan tidak seragamnya sistem pemeringkatan kualitas kredit karbon oleh lembaga independen menjadi dua tantangan utama yang membatasi akses pengembang proyek ke pasar internasional, meski proyek-proyek tersebut memiliki dampak lingkungan dan sosial yang signifikan.

Saras Sutedja, Global Business Development di CarbonEX, mengungkapkan bahwa birokrasi nasional justru menjadi salah satu kendala terbesar.
Baca juga: CarbonEX: Pasar Karbon Dunia Tak Lagi Sekadar Emisi, Integritas Proyek Jadi Penentu
Dalam diskusi “Beyond Business-as-Usual: Carbon Project Integrity from the Buyer’s Perspective” di Jakarta, Saras menyoroti keterlambatan penerbitan Letter of Authorization (LOA)—dokumen penting yang dibutuhkan dalam perdagangan karbon antarnegara.
“Jika sebuah proyek sudah memberikan dampak baik, tetapi belum memiliki LOA karena keterlambatan dari pemerintah, bukan berarti proyek tersebut tidak kredibel. Proyek itu hanya terjebak dalam sistem yang belum cukup siap dan cepat,” ujar Saras, Rabu (18/6/2025).
Selain regulasi, tantangan lain datang dari sisi penilaian kualitas proyek. Saat ini, banyak pembeli karbon mengandalkan lembaga pemeringkat seperti BeZero, Silvera, Calyx Global, dan MSCI.
Namun, tidak adanya standar metodologi yang seragam menyebabkan hasil penilaian yang kerap bertolak belakang, bahkan terhadap satu proyek yang sama.
“Lembaga rating mana yang harus dipilih? Mana yang paling bisa dipercaya? Saat ini setidaknya ada lima lembaga pemeringkat dan semuanya menggunakan pendekatan berbeda,” ungkap Saras.
Baca juga: Green Power Group Akuisisi Mayoritas Saham Aceh Mineral Abadi, Perkuat Rantai Pasok Bahan Baku EV
Perbedaan penilaian tersebut berdampak langsung pada reputasi dan harga kredit karbon. Proyek yang dinilai rendah oleh satu lembaga bisa mendapatkan nilai tinggi dari lembaga lain, menciptakan ketidakpastian pasar dan risiko reputasi yang tidak proporsional.
Di tengah dinamika ini, Saras melihat adanya upaya perbaikan di pasar. Dorongan dari pembeli, tekanan publik, dan diskursus seputar transparansi telah mendorong lembaga seperti Gold Standard untuk merevisi metodologi perhitungan yang sebelumnya menuai kritik, termasuk asumsi dalam parameter Fraction of Non-Renewable Biomass (FNRB) yang digunakan dalam proyek cookstove.
“Gold Standard akhirnya melakukan koreksi terhadap asumsi dan angka dalam metodologinya agar lebih konservatif dan sesuai dengan kondisi di lapangan,” kata Saras.
Ia juga mencatat bahwa sejumlah pengembang proyek karbon memilih membangun entitas baru untuk memulai ulang proyek dengan pendekatan yang lebih transparan dan berfokus pada integritas.
“Beberapa pengembang bahkan merancang ulang proyek mereka dari awal untuk memastikan kredibilitas lebih tinggi,” tambahnya.
Meski penuh tantangan, Saras optimistis bahwa pasar karbon global tengah bergerak ke arah yang lebih positif. “Pasar karbon terus berkembang. Perbaikannya mengarah pada sistem yang lebih kredibel dan adil,” ujarnya.
Saras menekankan bahwa tantangan proyek karbon dari negara berkembang bukan semata teknis, melainkan struktural. Tanpa regulasi nasional yang mendukung dan sistem rating yang lebih seragam, proyek-proyek berkualitas bisa kehilangan akses pasar hanya karena tidak memiliki cap yang tepat waktu.
Menurutnya, diperlukan sistem transisi yang adil agar proyek yang berdampak nyata tidak tersingkir dari pasar global. ***