Ecobiz.asia – Indonesia merupakan negara dengan kekayaan hutan tropis yang luar biasa. Dalam dua dekade terakhir, upaya untuk memperkuat tata kelola kehutanan dilakukan melalui penerapan Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) yang mencakup seluruh rantai pasok kayu dari hulu ke hilir. Sistem ini menjadi pilar legalitas dalam ekspor, reputasi dagang, dan perlindungan hutan.
Namun, pada Mei 2025, Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) kembali mengusulkan deregulasi terhadap penerapan SVLK. HIMKI meminta agar ekspor mebel dan kerajinan tidak lagi mensyaratkan dokumen V-Legal dan SVLK, dengan alasan bahwa beban administratif tersebut tidak proporsional dan menghambat daya saing industri hilir yang padat karya. Mereka menekankan bahwa usulan ini hanya berlaku untuk industri hilir, sementara bahan baku kayu tetap harus memiliki SVLK.

Usulan ini muncul di tengah tantangan industri mebel dan kerajinan Indonesia yang menghadapi perlambatan perdagangan global dan peningkatan tarif impor dari Amerika Serikat. HIMKI berpendapat bahwa deregulasi SVLK untuk industri hilir dapat membantu meringankan beban dan meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Perdebatan ini mencerminkan tantangan dalam menyeimbangkan antara kebutuhan industri untuk efisiensi dan daya saing dengan komitmen nasional terhadap tata kelola hutan yang berkelanjutan. Penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mencari solusi yang mempertimbangkan kedua aspek tersebut, guna memastikan keberlanjutan industri kehutanan Indonesia di masa depan, bukan dengan cara deregulasi SVLK.
Baca juga: Masyarakat Sipil Tolak Pelemahan SVLK, Nilai Ekspor Kayu Indonesia Dipertaruhkan
Mundur ke Masa Gelap: Risiko Sistemik Jika SVLK Dilemahkan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor SK.9895/MENLHK-PHL/BPPHH/HPL.3/12/2022 menetapkan standar penilaian kinerja pengelolaan hutan lestari dan pelaksanaan SVLK secara menyeluruh. Regulasi ini memperkuat sistem dengan memasukkan aspek verifikasi legalitas, perlindungan sosial, tata batas, penggunaan teknologi informasi, dan perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi. Penerapan SVLK berbasis permen ini menuntut setiap pemegang izin hutan untuk:
- 1. Menyediakan dokumen legalitas dan tata batas secara lengkap.
- 2. Menunjukkan komitmen kelembagaan dan profesionalisme tenaga kehutanan.
- 3. Melaksanakan prinsip PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan) untuk masyarakat adat dan lokal.
- 4. Memastikan pengelolaan ekosistem, konservasi, dan distribusi manfaat secara adil.
Dengan standar yang semakin komprehensif, pelemahan atau penghapusan SVLK secara regulatif akan menyebabkan kontradiksi terhadap kebijakan pemerintah sendiri, melemahkan sistem perlindungan lingkungan, dan membuka ruang legal untuk pembalakan liar serta eksploitasi tanpa pengawasan
Sistem SVLK bukan sekadar syarat administratif, tetapi kerangka tata kelola kehutanan berbasis keberlanjutan dan keadilan sosial. Melemahkannya berarti mengabaikan mandat konstitusional pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
- 1. Hilangnya Kepercayaan Pasar Global
Produk kayu Indonesia selama ini telah menikmati posisi strategis di pasar global karena dianggap memiliki jaminan asal-usul legal dan berkelanjutan melalui dokumen V-Legal. Sistem SVLK menjadi rujukan penting dalam perjanjian seperti FLEGT-VPA, serta bentuk nyata dari upaya Indonesia dalam mematuhi regulasi lingkungan internasional, termasuk EU Deforestation Regulation (EUDR).
Pelemahan SVLK akan segera dibaca sebagai pengingkaran terhadap komitmen lingkungan, dan ini dapat menurunkan preferensi pasar terhadap produk Indonesia. Dengan pasar global yang kini lebih ketat terhadap isu iklim dan deforestasi, pelemahan sistem ini justru menempatkan Indonesia dalam risiko eksodus pembeli, hambatan tarif baru, atau boikot pasar oleh negara mitra.
Baca juga: Produsen Plywood Antisipasi Manuver Trump Naikkan Tarif Impor Kayu
- 2. Kekacauan Sistem Industri Kehutanan
Penerapan SVLK selama ini memastikan standar tunggal dan seragam di seluruh rantai nilai produk kayu — dari hulu ke hilir. Jika sebagian pelaku, terutama di sektor hilir, dibebaskan dari kewajiban ini, maka akan muncul fragmentasi sistem. Ketimpangan tersebut menurunkan akuntabilitas dan memperbesar peluang “leakage” kayu ilegal melalui celah hilirisasi.
Ketidakkonsistenan ini tidak hanya akan menciptakan ketidakpastian hukum dalam industri, tetapi juga mengacaukan sistem pengawasan dan audit, karena tidak lagi berbasis prinsip satu sistem untuk semua lini produksi. Dalam jangka menengah, fragmentasi ini akan menurunkan daya saing Indonesia, karena industri tidak lagi berjalan dengan standar bersama yang diakui secara internasional.
- 3. UKM Kehutanan Rawan Terpinggirkan
UKM merupakan aktor penting dalam struktur industri kehutanan, khususnya di sektor pengolahan dan kerajinan kayu. SVLK selama ini menyediakan sistem pembinaan, pelatihan, dan akses sertifikasi yang dirancang untuk membantu UKM masuk ke pasar formal, baik nasional maupun global. Melemahkan SVLK justru menghilangkan kepastian dan kepastian perlindungan terhadap pelaku usaha kecil, karena akan menciptakan ketidakjelasan dalam standar ekspor dan domestik.
UKM yang sebelumnya telah berinvestasi dalam sistem ini berisiko terpinggirkan oleh pelaku-pelaku besar yang memanfaatkan celah deregulasi. Dalam jangka panjang, ini akan menghambat penguatan ekonomi lokal dan upaya pengentasan kemiskinan berbasis kehutanan.
- 4. Meningkatnya Risiko Deforestasi dan Konflik Sosial
Permen SVLK 2022 secara tegas mengatur bahwa legalitas tidak hanya berbasis dokumen, tetapi juga verifikasi di lapangan terkait kepastian areal, status penggunaan lahan, dan pelibatan masyarakat adat (PADIATAPA). Jika kewajiban SVLK dilonggarkan, maka mekanisme verifikasi sosial-ekologis yang selama ini mencegah konflik dan pelanggaran akan menjadi lemah. Hal ini membuka ruang legalisasi praktik eksploitatif, seperti penggunaan areal tanpa izin, pelanggaran kawasan lindung, dan penyingkiran masyarakat lokal. Risiko konflik sosial meningkat, terutama di kawasan yang tumpang tindih dengan wilayah adat, dan praktik pembalakan liar dapat kembali marak karena lemahnya sistem pengawasan formal.
- 5. Kerugian Ekonomi dan Reputasi Jangka Panjang
SVLK selama ini menjadi aset reputasional Indonesia di mata dunia. Sistem ini telah menjadi selling point dalam perdagangan internasional serta bukti konkret atas komitmen Indonesia terhadap Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 12 (konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab) dan SDG 15 (kehidupan di darat).
Melemahkan SVLK mengirimkan pesan bahwa Indonesia mundur dari upaya tata kelola berbasis keberlanjutan, dan ini akan berdampak langsung terhadap minat investor, lembaga pembiayaan hijau, serta perjanjian dagang yang berbasis ketentuan lingkungan. Dalam jangka panjang, pelemahan ini justru akan menciptakan biaya ekonomi yang lebih besar, karena sektor kehutanan Indonesia tidak lagi dianggap sebagai pemain global yang kredibel.
Baca juga: Pengusaha Kayu Indonesia Bidik Pasar Timteng dan Afrika Lewat Dubai, Potensinya Besar
Bangun Bukan Bongkar: Solusi Inklusif untuk Meneguhkan SVLK sebagai Pilar Ekonomi Hijau
Untuk memastikan bahwa Indonesia tidak kehilangan arah dalam pengelolaan hutan yang adil, lestari, dan kompetitif secara global, diperlukan langkah-langkah strategis sebagai berikut:
- 1. Batalkan Rencana Deregulasi SVLK dan Perkuat Regulasi Pelaksanaannya
Langkah pertama dan paling mendesak adalah menghentikan rencana deregulasi 441 kode HS di sektor kehutanan dan penghapusan dokumen V-Legal. Pemerintah perlu menegaskan bahwa SVLK adalah sistem nasional yang telah mendapatkan legitimasi internasional, dan bukan sekadar instrumen administratif. Permen LHK No. 9895/2022 sudah menetapkan standar tinggi dalam pengelolaan hutan lestari; maka peran lintas kementerian harus bersinergi untuk memperkuat pelaksanaannya, bukan melemahkan.
- 2. Integrasikan SVLK dalam Diplomasi Dagang Hijau
SVLK harus menjadi bagian dari diplomasi perdagangan hijau Indonesia, termasuk dalam perundingan FLEGT-VPA, CEPA Indonesia–Uni Eropa, serta sebagai instrumen awal dalam menjawab tantangan regulasi seperti EUDR (EU Deforestation Regulation). Upaya ini akan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin dalam perdagangan komoditas yang bebas deforestasi dan adil bagi petani kecil.
- 3. Reformasi Pembinaan dan Insentif bagi UKM
Dibutuhkan kebijakan afirmatif untuk memastikan UKM tetap menjadi aktor utama dalam ekspor produk kayu. Ini mencakup penyediaan dukungan teknis, penyederhanaan biaya sertifikasi, dan perluasan skema subsidi atau insentif berbasis capaian keberlanjutan. Dengan begitu, SVLK tidak lagi dipersepsikan sebagai beban, tetapi sebagai jalan masuk ke pasar global yang bernilai tinggi.
- 4. Tingkatkan Transparansi dan Partisipasi Multi-Pihak
Segala perubahan kebijakan yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam seharusnya dibuka kepada partisipasi masyarakat sipil, komunitas adat, akademisi, dan pelaku usaha. Diperlukan forum komunikasi yang terbuka, inklusif, dan berbasis bukti untuk membahas kebijakan strategis seperti SVLK agar tidak menjadi keputusan sepihak yang mengorbankan prinsip tata kelola yang telah dibangun bertahun-tahun.
Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) bukan hanya produk regulasi teknis, tetapi simbol kemajuan Indonesia dalam membangun tata kelola hutan yang akuntabel, berkelanjutan, dan inklusif.
Baca juga: Fitur Geolokasi Tegas di SVLK Plus, Ketelusuran Produk Kayu Indonesia Makin Kuat
Menjaga Kompas Hutan Indonesia: SVLK adalah Investasi, Bukan Beban
Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) bukan hanya produk regulasi teknis, tetapi simbol kemajuan Indonesia dalam membangun tata kelola hutan yang akuntabel, berkelanjutan, dan inklusif. Dalam konteks krisis iklim, tekanan pasar global, dan tuntutan keberlanjutan yang semakin ketat, pelemahan SVLK adalah langkah mundur yang kontraproduktif dan berisiko tinggi.
Indonesia memiliki banyak alasan untuk memperkuat SVLK sebagai instrumen strategis nasional: untuk menjaga keberlanjutan hutan, mendukung masyarakat adat dan UKM kehutanan, mempertahankan kepercayaan pasar global, serta menunjukkan kepemimpinan dalam tata kelola sumber daya alam tropis. Reputasi yang telah dibangun selama lebih dari satu dekade tidak boleh diruntuhkan oleh deregulasi yang terburu-buru dan tidak inklusif.
Saatnya pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil memperlakukan SVLK bukan sebagai beban, tetapi sebagai investasi jangka panjang dalam mewujudkan ekonomi hijau dan masa depan Indonesia yang berdaulat atas sumber dayanya. ***